Pengertian, Jenis-Jenis, Fungsi, dan Contoh Latar dalam Teks Cerpen

Teks Cerpen | Pada kesempatan kali ini kita akan membahas tentang pengertian, jenis-jenis, contoh latar, serta contoh teks cerpen. Semoga apa yang admin bagikan ini dapat membantu anak didik dalam mencari referensi tentang pengertian, jenis-jenis, contoh latar, serta contoh teks cerpen. Dan harapannya apa yang admin bagikan ini dapat memberikan dampak positif yang baik bagi perkembangan belajar anak didik, khususnya dalam memahami lebih dalam tentang latar dalam teks cerpen.

Pengertian, Jenis-Jenis, Fungsi, dan Contoh Latar dalam Teks Cerpen

Teks cerpen memuat unsur-unsur pembangun cerita. Unsur pembangun cerita tersebut adalah salah satunya unsur intrinsik bagian latar. Berikut ini adalah penjelasan mengenai pengertian dan jenis-jenis latar yang terdapat dalam unsur intrinsik cerpen. 

A. Pengertian Latar

Latar atau setting disebut landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan, waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar adalah keterangan mengenai ruang, waktu serta suasana terjadinya peristiwa-peristiwa di dalam suatu karya sastra. Atau definisi latar yang lainnya adalah unsur intrinsik pada karya sastra yang meliputi ruang, waktu, serta suasana yang terjadi pada suatu peristiwa di dalam karya sastra.

B. Jenis-Jenis Latar

Adapun jenis-jenis latar dalam teks cerpen adalah sebagai berikut.

1. Latar Tempat

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi. Latar tempat yaitu di mana tempat tokoh atau si pelaku mengalami kejadian atau peristiwa di dalam cerita. Seperti, di dalam bangunan tua, di sebuah gedung, di lautan, di dalam hutan, di sekolah, di sebuah pesawat, di ruang angkasa, dan lain sebagainya.

2. Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah 'kapan' terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi. Latar waktu adalah saat di mana tokoh atau si pelaku melakukan sesuatu pada saat kejadian peristiwa dalam cerita yang sedang telah terjadi. Seperti, pagi hari, siang hari, sore hari, malam hari, di zaman dulu, dimasa depan, kapan hari, dan lain sebagainya.

3. Latar Sosial 

Latar sosial menyaran pada unsur-unsur berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial mencakup kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, dan hidup.

4. Latar Suasana

Latar suasana yaitu apa saja yang terjadi ketika saat si tokoh atau di pelaku melakukan sesuatu. Seperti, saat galau, gembira, sedih, lelah, jenuh, bosan, mengantuk, ramai, sepi, seram, dan sebagainya.

5. Latar Alat

Latar alat adalah apa saja yang diperlukan atau dipakai si pelaku dalam suatu cerita. Seperti, tombak, pistol, pedang, buku, pulpen, kayu, papan, baju, dan sebagainya.

C. Fungsi Latar

Fungsi latar adalah untuk memberikan suatu gambaran yang jelas supaya peristiwa-peristiwa yang terjadi pada suatu karya sastra benar-benar terjadi atau memberikan informasi yang jelas mengenai situasi di dalam sebuah cerita.

D. Contoh Teks Cerpen

Adapun contoh teks cerpen adalah sebagai berikut.

Cerpen 1
Ibu dan Bangunan Tua

Orang-orang di sekitar, terutama yang wanita menjerit. Aku terkejut dan memeluk ayahku. Ia sudah tak bergerak lagi! Dengus nafasnya sudah tak terdengar lagi. Ia sudah tiada! Ia meninggal di sini tanpa istri dan anak-anaknya yang lain. Ia meninggalkan misi kepada ibuku yang harus memperjuangkan hidup kami, yang masih penuh dengan bimbingan.
Kini ibu berjuang menghidupi kami bertiga. Ayah tidak menikmati hasil perjuangannya ketika pasukan Belanda mundur dari Cirebon dan Indonesia merdeka sepenuhnya!
Orang-orang bergembira. Tentara-tentara kembali dari hutan ke kota. Mereka berjalan dengan gagah, membawa senjata seadanya. Pakaiannya seragam dengan lencana merah putih. Kakakku tertua kembali pula ke rumah.
Bekal pendidikan Ibu dari desa kurang. Hanya kemauan dan bimbingan ayahku selama hidup saja yang memberi semangat Ibu untuk membesarkan anak-anaknya.
"Aku tidak ingin membawa anak-anakku ke desa kembali," ujar ibuku kepada tetangga-tetangga yang datang. "Aku akan membesarkan anak-anakku di kota. Bersekolah dan kelak mereka akan meneruskan perjuangan ayah mereka."
Ibu mulai dengan memperbaiki lubang-lubang bekas tembakan peluru di rumah penginapan tempat usaha ayah yang sering dijadikan pertemuan tokoh-tokoh politik, lalu memperbaiki kasur, ranjang, dan kamar yang rusak karena ditempati tentara-tentara.
Kami mulai makan dengan beras jagung. Kami mulai dengan pakaian tambal-tambal bekas jahitan. Ibu mulai menjahit dan mendatangkan saudaranya dari kampung untuk membantu mengurus segala hal untuk perusahaan ini.
Banyak yang dilakukan ibuku untuk menghidupi anak-anaknya menghadapi zaman darurat ini. Membuka kamar murah hanya menghampar tikar. Kadang-kadang Ibu sampai malam hari menjahit pakaian dan menjualnya di pasar-pasar, juga menitipkan barang dagangan kepada anak-anaknya untuk dijual di sekolah.
Dari hasil inilah kami melata. Aku senang melihat ibuku membangun kembali perusahaan ayah, sebuah penginapan, berupa bangunan tua dengan kamar-kamar sederhana. 
Orang-orang tadinya mencela dan meragukan Ibu yang masih belum cukup pengalaman, berasal dari desa, sekolah pun tak sampai tamat, bisa membangun kembali puing-puing perusahaan Ayah akibat perang. Akan tetapi, kemajuan demi kemajuan terjadi. Penghasilan dari losmen inilah yang membiayai kami sekolah.
Malam itu kudapati Ibu yang kian berkerut karena menghadapi berbagai kesulitan, merenung di kamarnya.
"Kau tidak usah ikut gundah, Nak," ujarnya ketika ia mengetahui wajahku penuh tanda tanya.
"Aku harus tahu kesulitan Ibu," jawabku perlahan. Ibu menarik nafas panjang.
"Baiklah," akhirnya ibuku memutuskan. "Kau tahu Nak, penginapan kita terletak di dekat stasiun kereta api?"
"Ya, Bu. Tamu-tamu juga kebanyakan dari sana," jawabku.
"Nah. Dalam waktu dekat kita harus berjuang hebat lagi. Kita sekarang mendapat saingan begitu hebat dari losmen dan hotel-hotel baru. Kita ketinggalan karena rumah kita sudah terlampau tua. Susah lagi kita mencari tamu dan mengandalkan pada perusahaan ini."
Tapi karena keuletan Ibu, losmen kita maju dibanding yang lain.

Dikutip dari "Tayuban"
dalam kumpulan cerpen Tiga Kota,
karya Nugroho Notosusanto
Cerpen 2
Ibuku Sekuntum Cempaka dari Kepur 

Aku mengangguk. Sejak mendengar ibuku menangis tengah malam, gara-gara Nenek tidak menyukainya di rumah ini, tindakanku selalu ragu-ragu. Aku takut dimarahi Nenek. Belakangan ini nenekku sangat cerewet. Seolah-olah beliau menghendaki kami segera meninggalkan rumah limas besar. Nenek tidak mau diganggu. 
"Maman, kau belum mengambil keranjang rotan yang tergantung itu?"
Aku menggelang.
"Ambil kursi!"
Aku berlari ke arah kursi setelah memahami maksudnya. Ia menuyuruhku mengambil keranjang rotan. Nenek tidak mau lagi menolongku. Dengan susah payah aku menyeret kursi berukir dekat meja makan ke bawah keranjang rotan.
"Hati-hati, Maman, nanti lecet kursi antikku!" pekik Nenek.
Aku menoleh dan kulihat muka Nenek tidak manis, justru masam. Mengapa Nenek memusuhi aku? Apakah kesalahanku selama ini? Hatiku menjadi sedih. Saat itu aku ingin sekali dekat dengan Ibu.
Lepas magrib Ibu dan Ayah pulang dari sawah Nenek dan Kakek. Keduanya membantu mengolah sawah tanpa mendapat bagian padi. Hal ini termasuk kewajiban anak dan menantu di dalam keluarga.
"Kau sudah makan, Maman?" tanya Ibu begitu tiba di rumah.
"Belum, Bu."
"Belum? Mengapa?
"Nenek tidak mau menolong mengambilkan keranjang. Aku sendiri tidak dapat menjangkau tempat makanku. Nenek menyuruhku menggunakan kursi antiknya, tetapi aku tidak boleh menyeret benda mahal itu. Kata Nenek, kursi antiknya tidak boleh lecet."
"Tak apa-apa, nenekmu sedang sakit, Nak."
Sekali lagi ibuku memaafkan tindakan Nenek meskipun mengetahui buah hatinya kelaparan sejak pukul 6 pagi sampai lepas magrib. Ibu memelukku kuat-kuat sambil membisikkan kata-kata manis untuk menghibur hatiku yang tersinggung. "Man, jangan kau ceritakan kepada ayahmu kejadian di rumah hari ini, ya sayang?"
"Mengapa, Bu?"
"Kasihan ayahmu lelah di sawah. Jangan kau susahkan hatinya. Kita tidak boleh menambah berat bebannya."
"Buuu ...," aku tidak melanjutkan kalimatku.
"Hmmm, apa, Nak?"
"Oh, tidak, Bu, tak apa-apa."
Keesokan harinya, usai salat subuh kudengar orang bertengkar di paun. Yang disebut paun oleh penduduk dusun Tanjung Serian ialah seluruh ruangan yang ada di sekitar dapur. Aku berlari ke pintu tengah, antara ruang besar dan paun. kulihat Nenek berkacak pinggang sedang memberondong Ayah dengan kata-kata pedas dan kasar.
"Keluarkan ranjang jati dari kamar yang kalian tunggu!"
"Baik, sekarang juga aku akan keluarkan."
Ayah bergegas menuju kamar yang mereka tunggu. Ibu terkejut.
"Ada apa, Abang?"
"Mak meminta ranjang jati ini, Rum."
"Oh ya, kasihan saja, Bang." Suara Ibu tetap tenang.
Aku tidak melihat suatu perubahan pada air mukanya. Ucapannya sesuai dengan kata hatinya.Nenek menuju kamar yang ditempati ayah dan ibu. Sambil berkacak pinggang, dia membentak, "Segera keluarkan ranjang jati itu!"
Hari itu kakek sedang ke kota Palembang menemui sahabatnya, seorang pedangang tembakau yang kaya raya. Mereka akan kerja sama mendirikan perusahaan angkutan.
Ayah membongkar ranjang jati yang mereka pakai sejak menikah 10 tahun yang lalu. Aku pun lahir di ranjang itu. Ibu melipat selimut dan kain seprei tanpa rasa masgul, tanpa sakit hati, karena ranjang jati yang bagus itu memang bukan kepunyaan ibu dan ayah.
"Kakek kan baik pada Ibu."
"Semua isi rumah ini baik pada kita, Nak."
"Nenek?"
"Nenekm pun baik."
"Nenek ..., baik. Bu?" desakku.
"Memang baik, Man."
Aku tegang. Di mana pun berada ibuku tidak pernah menjelek-jelekkan mertuanya.

Dikutip dari Kumpulan Cerpen Ibu,
pengarang Aksara