Pengertian Tema dalam Teks Cerpen | Contoh Teks Cerpen Bahasa Indonesia

Teks Cerpen | Pada kesempatan kali ini admin akan membagikan tentang pengertian tema dalam teks cerpen lengkap dengan contoh teks cerpen. Semoga apa yang admin bagikan ini dapat memberikan dapat membantu anak didik dalam mencari pengertian tema dalam teks cerpen. Dan harapannya apa yang admin bagikan ini dapat memberikan dampak positif yang baik bagi perkembangan belajar anak didik di sekolah, khususnya dalam memahami lebih dalam tentang unsur-unsur intrinsik dalam teks cerpen.

Pengertian Tema dalam Teks Cerpen | Contoh Teks Cerpen Bahasa Indonesia

Teks cerpen memuat unsur-unsur pembangun cerita. Unsur pembangun cerita tersebut yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik merupakan unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Kali ini kita akan membahas tentang pengertian tema lengkap dengan contoh teksnya. Semoga bermanfaat buat kita semua.

Pengertian Tema

Tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Tema dapat bersinonim dengan ide utama dan tujuan utama. Jadi, tema merupakan gagasan dasar umum, dasar cerita sebuah karya yang digunakan pengarang untuk mengembangkan cerita.

Tema adalah suatu gagasan pokok atau ide pikiran tentang suatu hal, salah satunya dalam membuat tulisan. Pada setiap tulisan pastilah memunyai sebuah tema, karena dalam sebuah penulisan dianjurkan harus memikirkan tema apa yang akan dibuat. Dalam menulis cerpen, puisi, novel, karya tulis, dan berbagai macam jenis tulisan haruslah memiliki sebuah tema.

Jadi, jika diandaikan sebuah rumah, tema adalah pondasinya. Tema juga hal yang paling utama dilihat oleh para pembaca sebuah tulisan. Jika temanya menarik, maka akan memberikan nilai lebih pada tulisan tersebut.

Pada karya sastra tema adalah gagasan (makna) dasar umum yang menopang sebuah karya sastra sebagai struktur semantis dan bersifat abstrak yang secara berulang-ulang dimunculkan lewat motif-motif dan biasanya dilakukan secara implisit. Tema bisa berupa persoalan moral, etika, agama, sosial budaya, teknologi, tradisi yang terkait erat dengan masalah kehidupan. Tema juga bisa berupa pandangan pengarang, ide, atau keinginan pengarang dalam menyiasati persoalan yang muncul.

Tema yang sering diangkat dalam karya sastra adalah masalah kehidupan. Masalah tersebut berupa pengalaman bersifat individual dan sosial. Contoh tema yang diangkat, antara lain cinta (cinta terhadap Tuhan, tanah air, orang tua, atau sahabat, dan kekasih), kesetiakawanan, dan keadilan.

Contoh Teks Cerpen:

Cerpen 1
Baik Luar Dalam 

"Din, ada Devi tuh di depan nyariin kamu katanya, ditemuin gih. Dah nungguin dari tadi." Sahut Devi kepada Dinda yang sedang mengerjakan tugas sekolah di rumah Dinda.

"Bi Surti, bilang aja aku gak ada, lagi keluar apa cari alasan lain gitu." Pinta Dinda pada Bu Surti yang bekerja di rumahhnya.

"Iya, Non."

"Kamu  kenapa kayak gitu sama Devi? Dia sudah datang jauh-jauh malah kamu gituin. Devi itu anak baik lho, Din."

"Iya dari memang luarnya kelihaatan baik, manis, ramah. Tapi apa hanya itu saja kamu mengukur sifat seseorang? Dari luar memang manis. Tapi dalamnya tuh pahit."

"Pahit maksudnya gimana?"

"Devi itu sering ngomongin keburukan temannya sendiri di belakang orangnya. Banyak pokoknya, yang gak bisa aku jelasin ke kamu.

"Beda sama kamu, lihatlah kami ini. Judes, ceplas-ceplos kalo ngomong sama aku. Tapi hatimu tulus, Tin, bukan baik di luar tapi dalamnya busuk. Aku gak butuh kawan yang tampilan luar orang dalam berteman." Jelas Dinda.

Cerpen 2
Tak Konsisten

Terdengar bunyi alarm begitu keras mengusik tidur Agus yang begitu terlelap. Dia mengeliat menahan rasa kantuk. Kemudian dia membuka matanya secara perlahan.

"Oh Tuhan!" Agus terkejut melihat jam ternyata pukul 07.00 pagi. Dia langsung bergegas menuju kamar mandi, kemudian dia mandi dan merapikan diri lalu tancap gas untuk pergi ke kantor. Sesampainya di kantor, dia sudah terlambat menghadiri meeting yang diajukan daari jam biasanya karena bosnya akan segera pergi keluar negeri.

"Maaf, Pak. Saya boleh masuk?" Tanya Agus pada bosnya yang sedang memimpin meeting.

"Iya, silakan duduk, Gus, tapi maaf hari ini proyekmu digantikan oleh Riyan."

"Tapi kenapa, Pak? Saya hanya terlambat sebentar."

"Ini bukan masalah sebentar atau lama. Kita di perusahaan ini para pekerja profesional. Proyek itu dari dulu saya percayakan sama kamu tapi kamu ternyata tidak konsisten. Meskipun telat sebentar, ada di antara temanmu yang bisa memberi ide bagus untuk proyek itu. Jadi, maaf sekali lagi, sudah bagus kamu tidak saya keluarkan dari tim." Jelas bosnya dengan tegas.

Langsung seketika Agus terdiam dengan wajah yang penuh dengan penyesalan. Setelah meeting selesai Agus pergi menuju meja kerjanya.

"Ini salahku, Dev. Aku begadang semalam nonton bola Tim kesukaanku sampai larut malam, sampai-sampai aku lupa kalau ada proyek penting dan seharusnya menguntungkan bagiku."

"Hmm, makanya kamu harus mengutamakan profesi dari pada hobi." Sambung Devi sedikit menasihati.

Cerpen 3
Gunung Kidul

Angin tajam sekali. Kelam menyelimuti teratak doyong itu. Dingin mengempa. Di tengah kemurungan suasana itu, ada hidup di dalam teratak yang ada cahayanya. Teratak itu hanya mempunyai satu ruangan. Tidak ada sekat-sekatnya. Mejanya persis di tengah dengan sebuah kursi panjang bambu. Di sudut tenggara, lantai dari tanah: becek di sekitar tempat sebauh gentong berdiri.
Pada sudut itu disisipkan tiga buah piring seng dan sebuah sendok yang kekuning-kuningan.

Pada susdut barat daya, sebuah peti ukuran 1 X 1 X 1 m kubik yang terbuka: sebuah peti beras yang di dalamnya putih, tapi kosong. Hanya ada kutu-kutu yang berkeliaran tak tentu tujuan. Di dekatnya, ada sebuah perapian yang tidak ada apinya. Ada dua potong cabang yang ditusukkan ke dalam lubangnya. Di atasnya, ada kendil hitam yang kosong. Agak jauh sedikit, ada sebuah pengki yang bambunnya sudah busuk. Isinya rumah bekicot yang pecah-pecah, dagingnya sudah hilang.

Lampu yang terbuat dari botol pomade dengan sumbu dan minyak, menerangi segenap sudut teratak. Juga sudut barat laut. Di sana, ada sebuah bale-bale juga doyong yang di hampari tikar yang lubang-lubangnya sebesar kepala manusia. Di atas bale-bale itulah, Mbok Kromo mengelon Atun, anaknya yang berumur 5 tahun.
"Mbok, maem Mbok, maem," kata anak kecil itu berulang-ulang dan tidak mau tidur. Kemudian ibunya mulai menceritakan lago ongeng "Joko Kendil", yang terlepas dari sengsara dan menjadi orang yang tampan, mujur, kaya, dan bahagia. Tetapi setiap kali ia berhenti bercerita, anaknya merengek-rengek lagi minta makan. Mbok Kromo membayangkan kendilnya di sudut rumah yang kosong.
"Mbok, Bapak mana?" tanya anak itu mengalihkan pertanyaan.
"O, Bapak mencari Joko Kendil. Nanti, ia akan pulang membawa kendil yang berisi nasi."
Anak itu tersenyum puas mendengar kata nasi digabungkan dengan Joko Kendil, pahlawannya. Kemudian, ia mengerak-gerakkan kakinya sambil bermain-main dengan tetek ibunya yang kendur dan kering itu.
Sebentar-bentar, ia menguap, tetapi perutnya tak mengizinkan matanya terkatup. Apalagi ia teringat lagi hal itu, ia mulai lagi merengek-rengek, "Mbok, maem!"
Ibunya menceritakan dongeng Timin Mas, anak gadis seperti Atun yang melarikan diri dari kejaran "buto ijo" dengan membawa tiga benda sakti, yang jika dilemparkan, berubah jadi rintangan yang menghambat dan akhirnya membinasakan raksasa galak itu. Akhirnya di cerita itu ialah Timun Mas kawin dengan pangeran negerinya dengan pesta besar-besaran dengan perjamuan makan lezat dan minum yang segar seperti kelapa muda.
Atun sudah puas sejurus lamanya mengenangkan makanan dan minuman yang enak-enak yang dihidangkan pada pesta perkawinan Timun  Mas. Akan tetapi beberapa saat kemudian, ia mulai lagi mengulangi pertanyaan yang lama, "Mbok, Bapak mana, Mbok?" Maka jawab Mbok Kromo dengan sabar, "O, Bapak pergi ke pesta Timun Mas. Nanti ia pulang membawa berkatan nasi kuning dengan nasi-nasi lezat. Daging gule kambing yang penuh lemak; bukan daging keong yang liat dan apak."

Atun sangat gembira mendengar janji ibunya itu dan makin ribut ia mengerak-gerakkan kakinya sambil memilin-milin puting buah dada ibunya yang lembek. Tetapi akhirnya, ia minta makan juga sambil menguap-nguap mengantuk. Tak lama kemudian dengan sabar ibunya mencoba mengalihkan perhatian anaknya dengan dongeng Si Kancil Cerdik yang diterkam oleh harimau, tetapi dapat menyelamatkan dirinya, karena sedang mengaku menjaga kuil dodol Nabi Sulaiman, padahal yang ada di dekatnya itu tahi kerbau. Pada akhir cerita itu, Atun sudah tidak dapat mengatasi kantuknya lagi dan tertidur sambil berpengan pada ibunya dan mengular kedinginan. Sebentar-sebentar, kesunyian teratak itu diselingi bunyi perut yang menggiling dengan sia-sia.

Desa Padas termasuk daerah yang aman. sebagaimana adat di desa, senantiasa diadakan penjagaan malam juga oleh penduduknya sendiri. Pada jam 12 tengah malam, Simin dan Paidin jaga digardu di sudut desaitu. Mereka sudah membicarakan selamatan yang terakhir diadakan empat bulan sudah mereka tidak diundang keselamatan pada jaman paceklik ini?
Tiba-tiba bulu mereka berdiri, percakapan mereka tercekik oleh ketakutan. Burung kulik-kulik berbunyi sebentar-bentar dengan irama teratur.
"Kulik-kulik, kulik-kulik, kulik-kulik."

Kesunyian sangat menekan ketika burung malam itu berhenti berbunyi. Simin menyentuh bahu Paidin, "Mari jalan-jalan sebentar," ajaknya,"Kalau ada apa-apa kita disalahkan nanti."
"Bagaimana kalau betul ada maling?" tanya Paidin.
Simin berpikir sebentar, tangannya bergerak-gerak kosong seolah-olah mencari senjata.
"Kalau ada pencuri kita berteriak, "Maling, maling!" sampai orang-orang semua keluar. Kalau sudah kita kejar beramai-ramai," katanya kemudian.

Kemudian mereka berjalan dengan hati-hati sambil melemparkan pandangan jalan ke kanan dan ke kiri. Demikian besar kepercayaan mereka pada burung kulik-kulik sehingga mereka tidak heran ketika mendapati seorang laki-laki sedang mencabuti ketela Pak Sardi. Dengan suara mengigil mereka berteriak, "Maling! Maling! Maling!" dan dalam sekejap mata saja desa yang tentram dan damai itu penuh dengan laki-laki yang keluar membawa senjata pukul dan senjata tajam. Pencuri itu berlari sekuat-kuatnya dikejar oleh Simin dan Paidin pada jarak yang cukup.

Tetapi akhirnya, seluruh desa berlari di belakang sambil menghamburkan kutukan-kutukan dan maki-makian yang di dalam keadaan biasa akan membuat Tuhan murka. Pemburuan itu tidak lama karena tepat pada pekarangan Pak Kromo, pencuri itu terhuyung-huyung lalu rebah ke tanah. Sebagai air anak sungai yang terjun ke induknya, laki-laki yang banyak itu membanjiri ke tempat pencuri itu jatuh dan mulai menghantam senjata-senjata tumpulnya ke tubuh yang terengah-engah lemah itu. Semua orang mau ikut ambil bagian dalam pemukulan itu. Mereka yang membawa golok, menyisipkannya pada ikat pinggangnya lalu meminjam kayu yang dibawa oleh temannya, dan sambil mencetuskan bunyi 'hih" menjatuhkannya dengan bunyi kelapa jatuh ke badan yang sudah tak bergerak sama sekali itu. Lama-kelamaan setelah hampir seluruh desa mendapat giliran memukul, mereka insaf bahwa orang itu tak bergerak lagi.

"Coba kita lihat apa dia masih hidup," kata Simin dengan khawatir.
"Ya, mari!" kata banyak orang menyambutnya.
"Mari kita minta lampu kepada Pak Kromo!" ada seorang yang mengusulkan. Dan beberapa orang menuju ke pinti Pak Kromodan mengatakan "Kulo Nuwun!"
Pintu Pak Kromo dibukakan sedikit. "Pencurinya sudah tertangkap?" tanya dengan cemas.
"Sudah, itu dia terbaring di tanah kami pukuli. Ia mencuri ketela Pak Sardi. Sampai ia jatuh, ketela itu tidak dilepas-lepaskannya.

Pak Kromo apa tidak ada di rumah? Kami mau pinjam lampu untuk melihat siapa maling itu."
"Bapak pergi tadi sore sampai sekarang belum kembali. Tetapi, lampunya boleh dibawa." Ketika itu Atun merengek-rengek minta digendong. Ia terbangun oleh keributan yang terjadi di dekatnya itu. Dengan menggendong Atun, Mbok Kromo menggikuti orang-orang yang membawa lampunya menuju ke tempat orang-orang itu berkerumun.

Orang-orang menyingkir untuk memberi jalan kepada pemuda yang membawa lampu. Di dalam cahaya lampu itu, tampak badan pencuri itu bengkak, robek-robek serta berlumuran darah, keringat, dan tanah. Orang-orang yang berdekatan menelantangkannya. Lampu itu menyinari wajahnya yang menyeringai menakutkan. Semua orang yang melihat mundur selangkah.

"Ya Allah! ini Pak Kromo!" Kesunyian yang berat menyusul seruan yang menggemparkan itu. Kemudian," Ia sudah mati."

Simin dan Paidin menjauh tak tahan. Namun, mereka juga mendengar ratap Mbok Kromo yang sedang menangis dan mencabuti rambutnya yang terurai, dikelilingi laki-laki yang wajahnya penuh belas kasihan. Semua kayu telah dilemparkan jauh-jauh dan semua pisau dan golok disisipkan di belakang. Tetapi mengatasi suara ibunya, Atun menangis," Bapak, Bapak!"
Keesokan harinya, seluruh desa mengantarkan jenazah Pak Kromo ke kuburan.
2-5-1953
Nogroho Notosusanto, tiga kota