Teks Cerpen | Pada kesempatan kali ini kita akan membahas tentang pengertian dan contoh orientasi dalam struktur teks cerpen. Semoga apa yang admin bagikan ini dapat membantu anak didik dalam mencari referensi tentang pengertian dan contoh orientasi dalam struktur teks cerpen. Dan harapannya apa yang admin bagikan ini dapat memberikan dampak positif yang baik bagi perkembangan belajar anak didik memahami pengertian dan contoh orientasi dalam struktur teks cerpen. Semoga bermanfaat.
Pengertian Orientasi
Orientasi adalah bagian pendahuluan dalam sebuah cerita baik pengenalan sifat tokoh, tempat peristiwa dalam cerita, maupun pengenalan suasana dan alur cerita.
Contoh Orientasi
Berikut ini beberapa contoh paragraf orientasi dalam sebuah teks cerpen.
Orientasi 1
Angin
tajam sekali. Kelam menyelimuti teratak doyong itu. Dingin mengempa. Di
tengah kemurungan suasana itu, ada hidup di dalam teratak yang ada
cahayanya. Teratak itu hanya mempunyai satu ruangan. Tidak ada
sekat-sekatnya. Mejanya persis di tengah dengan sebuah kursi panjang
bambu. Di sudut tenggara, lantai dari tanah: becek di sekitar tempat
sebauh gentong berdiri.
Pada
sudut itu disisipkan tiga buah piring seng dan sebuah sendok yang
kekuning-kuningan. Pada susdut barat daya, sebuah peti ukuran 1 X 1 X 1 m
kubik yang terbuka: sebuah peti beras yang di dalamnya putih, tapi
kosong. Hanya ada kutu-kutu yang berkeliaran tak tentu tujuan. Di
dekatnya, ada sebuah perapian yang tidak ada apinya. Ada dua potong
cabang yang ditusukkan ke dalam lubangnya. Di atasnya, ada kendil hitam
yang kosong. Agak jauh sedikit, ada sebuah pengki yang bambunnya sudah
busuk. Isinya rumah bekicot yang pecah-pecah, dagingnya sudah hilang.
Lampu
yang terbuat dari botol pomade dengan sumbu dan minyak, menerangi
segenap sudut teratak. Juga sudut barat laut. Di sana, ada sebuah
bale-bale juga doyong yang di hampari tikar yang lubang-lubangnya
sebesar kepala manusia. Di atas bale-bale itulah, Mbok Kromo mengelon
Atun, anaknya yang berumur 5 tahun.
"Mbok,
maem Mbok, maem," kata anak kecil itu berulang-ulang dan tidak mau
tidur. Kemudian ibunya mulai menceritakan lago ongeng "Joko Kendil",
yang terlepas dari sengsara dan menjadi orang yang tampan, mujur, kaya,
dan bahagia. Tetapi setiap kali ia berhenti bercerita, anaknya
merengek-rengek lagi minta makan. Mbok Kromo membayangkan kendilnya di
sudut rumah yang kosong.
"Mbok, Bapak mana?" tanya anak itu mengalihkan pertanyaan.
"O, Bapak mencari Joko Kendil. Nanti, ia akan pulang membawa kendil yang berisi nasi."
Anak
itu tersenyum puas mendengar kata nasi digabungkan dengan Joko Kendil,
pahlawannya. Kemudian, ia mengerak-gerakkan kakinya sambil bermain-main
dengan tetek ibunya yang kendur dan kering itu.
Orientasi 2
Orang-orang
di sekitar, terutama yang wanita menjerit. Aku terkejut dan memeluk
ayahku. Ia sudah tak bergerak lagi! Dengus nafasnya sudah tak terdengar
lagi. Ia sudah tiada! Ia meninggal di sini tanpa istri dan anak-anaknya
yang lain. Ia meninggalkan misi kepada ibuku yang harus memperjuangkan
hidup kami, yang masih penuh dengan bimbingan.
Kini
ibu berjuang menghidupi kami bertiga. Ayah tidak menikmati hasil
perjuangannya ketika pasukan Belanda mundur dari Cirebon dan Indonesia
merdeka sepenuhnya!
Orang-orang
bergembira. Tentara-tentara kembali dari hutan ke kota. Mereka berjalan
dengan gagah, membawa senjata seadanya. Pakaiannya seragam dengan
lencana merah putih. Kakakku tertua kembali pula ke rumah.
Bekal
pendidikan Ibu dari desa kurang. Hanya kemauan dan bimbingan ayahku
selama hidup saja yang memberi semangat Ibu untuk membesarkan
anak-anaknya.
"Aku
tidak ingin membawa anak-anakku ke desa kembali," ujar ibuku kepada
tetangga-tetangga yang datang. "Aku akan membesarkan anak-anakku di
kota. Bersekolah dan kelak mereka akan meneruskan perjuangan ayah
mereka."
Ibu
mulai dengan memperbaiki lubang-lubang bekas tembakan peluru di rumah
penginapan tempat usaha ayah yang sering dijadikan pertemuan tokoh-tokoh
politik, lalu memperbaiki kasur, ranjang, dan kamar yang rusak karena
ditempati tentara-tentara.
Kami
mulai makan dengan beras jagung. Kami mulai dengan pakaian
tambal-tambal bekas jahitan. Ibu mulai menjahit dan mendatangkan
saudaranya dari kampung untuk membantu mengurus segala hal untuk
perusahaan ini.
Orientasi 3
Pagi itu Narti sudah berkemas dan siap untuk pergi. Seperti layaknya seorang anak yang berbakti ia berpamitan dengan ibunya. "Bu, aku mau balik ke Bandung, doakan aku agar selalu dalam lindungan-Nya, agar aku bisa menjalani perintah Tuhan, dan selalu ingat nasehat Ibu," ujar Narti.
"Tentu saja, Nak, Ibu akan selalu mendoakanmu. Tapi sebelum kamu pergi, ada yang Ibu mau tanyakan kepadamu," ujar ibunya.
Orientasi 4
Sudah
dua tahun, baik pada lebaran maupun Sekaten, Mbok Jah tidak "turun
gunung" keluar dari desanya di bilangan Tepus, Gunung Kidul untuk
berkunjung ke rumah bekas majikannya, keluarga Mulyono di kota. Meskipun
sudah berhenti karena usia tua dan capek menjadi pembantu, Mbok Jah
tetap memelihara hubungan yang baik dengan seluruh anggota keluarga itu.
Dua puluh tahun telah dilewatinya untuk bekerja sebagai pembantu di
rumah keluarga yang sederhana dan sedang-sedang saja kondisi ekonominya.
Gaji yang diterimanya tidak pernah tinggi, cukup saja, tetapi perlakuan
yang baik dari seluruh keluarga itu telah memberi rasa aman, tenang,
dan tenteram.
Buat
seorang janda yang sudah terlalu tua untuk itu, apalah yang dikehendaki
lagi selain atap untuk berteduh dan makan serta pakaian yang cukup.
Lagi pula anak tunggalnya yang tinggal di Surabaya dan menurut kabar
hidup berkecukupan, tidak mau lagi berhubungan dengannya. Tarikan dan
pelukan istri dan anak-anaknya rupanya begitu erat melengket hingga
mampu melupakan ibunya sama sekali. Tak apa, hiburnya. Di rumah keluarga
Mulyono ini dia merasa mendapat semuanya. Akan tetapi, waktu dia mulai
merasa semakin renta, tidak sekuat sebelumnya, Mbok Jah merasa dirinya
menjadi beban keluarga itu. Dia merasa menjadi buruh tumpangan gratis
dan harga dirinya memberontak terhadap keadaan itu. Diputuskannya untuk
pulang ke desanya.
Orientasi 5
"Lo, kenapa menangis?" tanya Eyang Putri cemas. Belau meletakkan obat dan segelas air putih di meja. Via diam tidak menjawab. Isaknya semakin jelas terdengar.
"Eyang, benarkah Bunda tidak mau mengurus, Via?" tanyanya terpatah-patah.
"Siapa bilang?" kata Eyang.
"Tadi di Puskesmas Bi Jum bercerita pada orang-orang. Katanya Bunda tidak mau mengurus Via. Bunda sibuk berkarier. Itulah sebabnya Via diasuh Eyang."
Eyang mengangguk-angguk mulai memahami persoalan Via. Namun, beliau belum menanggapi pertanyaan cucunya.
"Minum obat dulu, ya. Nanti kita bicarakan hal ini," bujuk Eyang seraya membantu Via minum obat. Sesekali terdengar helaan nafas panjangnya.
Pagi tadi Eyang menyuruh Bi Jum, pembantunya mengantar Via berobat ke Puskesmas. Sudah dua hari Via pilek. Biasanya Eyang sendiri yang mengantar Via berobat. Namun tetangga sebelah meninggal. Eyang melayat ke tetangga sebelah.