Pengertian, Tujuan, Landasan, Prinsip, dan Hakikat Pendidikan Inklusif | SIM Elearning Ayo Belajar

searchpengertian.com | Pada kesempatan kali ini admin akan membagikan artikel seputar pengertian, tujuan, landasan, prinsip, dan hakikat pendidikan inklusif SIM Elearning ayo belajar terbaru. Semoga apa yang admin bagikan kali ini dapat membantu Bapak dan Ibu Guru dalam mencari referensi tentang pengertian, tujuan, landasan, prinsip, dan hakikat pendidikan inklusif SIM Elearning ayo belajar.

Pengertian, Tujuan, Landasan, Prinsip, dan Hakikat Pendidikan Inklusif | SIM Elearning Ayo Belajar

Gambar: freepik.com

1. Hakikat Pendidikan Inklusif

Pada awalnya pendidikan khusus menerapkan pembelajaran model “segregasi” yaitu yang menempatkan anak berkebutuhan khusus di sekolah-sekolah khusus/Sekolah Luar Biasa (SLB), terpisah dari teman sebayanya. Dengan kata lain, di sekolah ini Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dipisahkan dari sistem sekolah yang diselenggrakan secara reguler. Misalnya, Sekolah Luar Biasa (SLB) mulai jenjang Taman Kanak-Kanak Luar Biasa (TKLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Menengah Luar Biasa (SMPLB), sampai Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB). Sekolah dengan model segregasi tersebut menerima siswa dengan hambatan yang sama, maka ada Sekolah Luar Biasa Tunanetra, Tunarungu, Tunagrahita, Tunadaksa, dan Tunalaras.

Dari sudut pandang peserta didik, model segregasi merugikan. Kerugian tersebut sebagaimana pandangan Reynolds dan Birch (1988) antara lain bahwa model segregatif tidak menjamin kesempatan anak berkebutuhan khusus mengembangkan potensi secara optimal, karena kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa. Kecuali itu, secara filosofis model segregasi tidak logis, karena menyiapkan peserta didik untuk kelak dapat berintegrasi dengan masyarakat pada umumnya. Akan tetapi, mereka dipisahkan dengan masyarakat pada umumnya. Kelemahan lain yang tidak kalah penting adalah bahwa model segregatif relatif mahal.

Berbeda halnya dengan TKLB, SDLB, SMPLB, dan SMALB menampung berbagai jenis anak berkebutuhan khusus, sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, autis, ataupun hambatan majemuk. Sekolah-sekolah tersebut memiliki kurikulum, metode mengajar, sarana pembelajaran, sistem evaluasi, dan guru khusus. Dari segi pengelolaan, model segregasi memang menguntungkan, karena mudah bagi guru dan administrator. Akan tetapi, dari sudut pandang peserta didik, model segregasi bisa jadi pada kondisi tertentu merugikan peserta didik.

Dengan model segregatif tersebut, Depdiknas (2007:1) menjelaskan bahwa tidak menjamin kesempatan anak berkebutuhan khusus mengembangkan potensi secara optimal. Hal ini mengingat, kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa. Di samping itu, peserta didik tidak disiapkan untuk kelak dapat berintegrasi dengan masyarakat normal. Mereka dipisahkan dengan masyarakat normal. Dengan demikian, perkembangan emosional dan sosialisasi siswa kurang luas karena faktor lingkungan menjadi terbatas.

Kurangnya interaksi sosial yang bermakna menyebabkan kesepian dan perasaan rendah diri bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Kurangnya kedekatan dan stimulasi dapat pula mengakibatkan mereka mengembangkan prilaku stereotip dan stimulasi diri. Ini menambah kondisi mereka dan membatasi perkembangan mereka lebih lanjut.

Belajar dari berbagai kelemahan model segregatif, pertengahan abad 20 muncul model “mainstreaming”. Model mainstreaming ini memungkinkan berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkebeutuhan khusus. Alternatif yang tersedia mulai dari yang sangat bebas (kelas biasa penuh) sampai yang paling berbatas (sekolah khusus sepanjang hari). Oleh karena itu, model ini juga dikenal dengan model yang paling tidak berbatas (the least restrictive environment), artinya anak berkebutuhan khusus harus ditempatkan pada lingkungan yang paling tidak berbatas menurut potensi dan jenis/tingkat kemampuannya.

Para ahli berbagai disiplin ilmu, simpatisan, dan kelompok penyandang disablitias melakukan berbagai usaha perbaikan untuk menyebutkan secara spesifik orang penyandang disabilitas dan menekankan bahwa semua penyandang disabilitas-tanpa memandang tingkat keparahannya-memiliki hak atas pendidikan. Usaha-usaha yang dilakukan tersebut memperoleh hasil, maka pada Konvensi PBB tentang Hak Anak tahun 1989 memuat instrumen-instrumen hak untuk memperoleh pendidikan di dalam sistem pendidikan umum dan tidak mendiskriminasikan penyandang disabilitas dan anak berebutuhan khusus lainnya.

Dalam Konvensi PBB tentang Hak Anak 1989 tersebut telah ditandatangani oleh semua negara kecuali dua negara (Amerika Serikat dan Somalia) suatu instrumen yang secara sah mengikat hak untuk memperoleh pendidikan di dalam sistem pendidikan umum. Bahkan Pasal 28 menyatakan bahwa pendidikan dasar “wajib dan bebas biaya bagi semua”.

Perkembangan sejarah pendidikan inklusif di Indonesia mulai mengembangkan pendidikan inklusif tahun 2000. Pada awalnya pendidikan bagi anak berkebutuhan disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan sebagaiman dikutip dari 2 ditplb.or.id/2006, yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis hambatan yang sama, sehingga ada SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Autis. Sedangkan SDLB menampung berbagai jenis hambatan anak, sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, autis ataupun hambatan majemuk.

Pada umumnya, lokasi SLB berada di Ibu Kota Kabupaten. Padahal anak-anak dengan hambatan tersebar hampir di seluruh daerah (Kecamatan/Desa), tidak hanya di Ibu Kota Kabupaten. Akibatnya, sebagian anak-anak berkebutuhan khusus, terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak disekolahkan karena lokasi SLB jauh dari rumah; sementara kalau akan disekolahkan di SD terdekat, SD tersebut tidak bersedia menerima karena merasa tidak mampu melayaninya. Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat diterima di SD terdekat, namun karena ketiadaan pelayanan khusus bagi mereka, akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah.

Perkembangan selanjutnya diawali dengan penyelenggaraan Konvensi Nasional pada 8 sampai dengan 14 Agustus 2004. Konferensi tersebut diselenggarakan atas kerjasama antara Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat PLB, Braillo Norway, dan UNESCO Jakarta yang melahirkan Deklarasi Bandung untuk menuju Indonesia pada pendidikan inklusif. Kelanjutan dari konvensi tersebut, tahun 2005 di Bukittinggi dilaksanakan Simposium Internasional. Tujuan dari simposium tersebut adalah upaya mengupayakan agar hak-hak anak yang mengalami hambatan belajar. Hasil rekomendasi Bukittinggi tersebut yaitu perlu terus ditumbuhkembangkan pendidikan inklusif untuk menjamin agar semua siswa memperoleh pendidikan yang layak serta berkualitas.

Melalui pendidikan inklusif, anak berkebuthan khusus dididik bersama-sama anak lainnya (reguler) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Oleh karena itu, anak berkebutuhan khusus perlu diberi kesempatan dan peluang yang sama dengan anak reguler untuk mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah. Pendidikan inklusif diharapkan dapat memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus selama ini. Tidak mungkin membangun SLB di tiap Kecamatan/Desa sebab memakan biaya yang sangat mahal dan waktu yang cukup lama.

2. Pengertian dan Tujuan Pendidikan Inklusif

Menurut Stubbs (Depdiknas, 2007:23) mendefinsikan bahwa ‘inklusif atau pendidikan inklusif bukan nama lain untuk pendidikan kebutuhan khusus. Pendidikan inklusif menggunakan pendekatan yang berbeda dalam mengidentifikasi dan mencoba memecahkan kesulitan yang muncul di sekolah’. Definisi pendidikan inklusif yang dirumuskan dalam Seminar Agra pada tahun 1998 yang disetujui oleh 55 peserta dari 23 negara merumusakan poin-poin sebagai berikut.

  • lebih luas daripada pendidikan formal: mencakup pendidikan di rumah, masyarakat, sistem nonformal dan informal.
  • mengakui bahwa semua anak dapat belajar.
  • memungkinkan struktur, sistem dan metodologi pendidikan memenuhi kebutuhan semua anak.
  • mengakui dan menghargai berbagai perbedaan pada diri anak: usia, jender, etnik, bahasa, hambatan, status HIV/AIDS dll.
  • merupakan proses yang dinamis yang senantiasa berkembang sesuai dengan budaya dan konteksnya.
  • merupakan bagian dari strategi yang lebih luas untuk mempromosikan masyarakat yang inklusif.

Definisi berikutnya dikemukakan oleh Sapon-Shevin dan O’Neil, 1994 (Dir. Pem. SLB, 2007:5) yang dimuat pula dalam http://bamperxii.blogspot.com menyatakan bahwa ‘pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya’. Perkembangan berikutnya pada bulan Maret tahun 1990 di Thailand dicetuskan Deklarasi Dunia Jomtien tentang Education For All (EFA) yang dikumandangkan UNESCO. EFA melangkah lebih jauh dibandingkan dengan Deklarasi Universal dalam Pasal III tentang ‘Universalisasi Akses dan Mempromosikan Kesetaraan’. Dinyatakan bahwa terdapat kesenjangan pendidikan dan bahwa berbagai kelompok tertentu rentan akan diskriminasi dan eksklusi. Ini mencakup anak perempuan, orang miskin, anak jalanan dan anak pekerja, penduduk pedesaan dan daerah terpencil, etnik minoritas dan kelompok-kelompok lainnya, dan secara khusus disebutkan para penyandang disabilitas. Walaupun istilah inklusif tidak digunakan di Jomtien, terdapat beberapa pernyataan yang mengindikasikan pentingnya menjamin bahwa orang-orang dari kelompok marginal mendapatkan akses ke pendidikan dalam sistem pendidikan umum.

3. Landasan Pendidikan Inklusif

Kebijakan implementasi pendidikan inklusif bukan sebatas pada pertimbangan kemanusiaan semata, akan tetapi memilki landasan yang kuat. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2011) menjelaskan ada 3 landasan penyelenggaran pendidikan inklusif, yakni landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan empiris.

a. Landasan Filosofis

Terkait dengan landasan filosofis, Abdulrahman dalam Kemdikbud (2011) mengemukakan bahwa landasan filosofis penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita–cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yaitu Bhineka Tunggal Ika. Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebinekaan manusia, baik kebinekaan vertikal maupun horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di muka bumi. Kebhinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dan sebagainya, sedangkan kebinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dan sebagainya. Walaupun beragam namun dengan kesamaan misi yang diemban di bumi ini, menjadi kewajiban untuk membangun kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan saling membutuhkan.

Bertolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, keberagaman termasuk di dalamnya anak berkebutuhan khusus merupakan salah satu bentuk kebhinekaan, seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa, budaya, atau agama. Di dalam diri individu berkebutuhan khusus pastilah dapat ditemukan keunggulan–keunggulan tertentu. Kelemahan dan keunggulan tidak memisahkan peserta didik yang satu dengan yang lainnya, seperti halnya perbedaan suku, bahasa, budaya, atau agama, tetap dalam kesatuan. Hal ini harus terus diwujudkan dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar peserta didik yang beragam, sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat toleransi yang nampak atau dicita–citakan dalam kehidupan sehari–hari.

b. Landasan Yuridis

Landasan yuridis tentang pendidikan inklusif memberikan kerangka dasar bahwa implementasi pendidikan inklusif memiliki kekuatan hukum untuk dilaksanakan. Implementasi pendidikan inklusif di Indonesia, memiliki dasar hukum atau yuridis yang terkait. Dalam Undang-Undang Dasar Amandemen 1945, Pasal 31 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan ditambahkan juga dalam ayat (2) dalam pasal yang sama, bahwa “’Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Selanjutnya terkait dengan perlindungan anak, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, padal Pasal 48, menyatakan bahwa “Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak”. Kemudian pada Pasal 48 dari Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, dinyatakan bahwa “’Negara, Pemerintah, Keluarga, dan Orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan”.

Dalam konteks pendidikan nasional, penyelenggaraan pendidikan inklusif memiliki dasar hukum yang jelas. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 ayat (1) “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Ayat (2): “Warga negara yang memiliki hambatan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”.

Dalam hal aksesibilitas pendidikan, dinyatakan dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”. Pasal 32 ayat (1) “Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena hambatan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa”. Dalam penjelasan Pasal 15 alinea terakhir dijelaskan bahwa “Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki 6 kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah”. Pasal 45 ayat (1) “Setiap satuan pendidikan formal dan non formal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik”.

c. Landasan Empiris

Terkait dengan landasan empiris, hasil penelitian menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah, kelas, atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif, peneliti merekomendasikan pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan secara terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman dan Messick, 1982). Hasil metaanalisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 buah penelitian, Wang dan Baker (1985/1986) terhadap 11 buah penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13 buah penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkebutuhan khusus dan teman sebayanya.

Selain itu, Depdiknas (2007) mengemukakan bahwa penyelenggaraan pendidikan inklusif mendapatkan dukungan dari berbagai event atau moment, baik internasional maupun nasional. Diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Deklarasi Hak Asasi Manusia (Declaration of Human Rights), tahun 1948;

b. Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), Tahun 1989;

c. Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (World Conference on Education for All) Tahun 1990;

d. Resolusi PBB nomor 48/96 tahun 1993 tentang Persamaan Kesempatan bagi Orang Berkelainan (The Standard Rules on The Equalization of Opportunities for Persons with Disabilities);

 e. Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusi (The Salamanca Statement on Inclusive Education) Tahun 1994;

f. Komitmen Dakar mengenai Pendidikan untuk Semua (The Dakar Commitment on Education for All) Tahun 2000; 7

g. Deklarasi Bandung Tahun 2004 dengan komitmen “Indonesia menuju pendidikan inklusi”;

h. Rekomendasi Bukittinggi Tahun 2005, menyatakan bahwa pendidikan inklusif dan ramah terhadap anak semestinya dipandang sebagai:

  • Sebuah pendekatan terhadap peningkatan kualitas sekolah secara menyeluruh yang akan menjamin bahwa strategi nasional untuk ‘pendidikan untuk semua’ adalah benar-benar untuk semua;
  • Sebuah cara untuk menjamin bahwa semua anak memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas di dalam komunitas tempat tinggalnya sebagai bagian dari programprogram untuk perkembangan anak usia dini, pra sekolah, pendidikan dasar dan menengah, terutama mereka yang pada saat ini masih belum diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah umum atau masih rentan terhadap marginalisasi dan eksklusi; dan
  • Sebuah kontribusi terhadap pengembangan masyarakat yang menghargai dan menghormati perbedaan individu semua warga negara.

Merujuk pada uraian di atas, jelaslah bahwa penyelenggaraan pendidikan inklusif memiliki dukungan secara internasional maupun nasional sebagai salah satu bentuk layanan pendidikan yang ditujukan untuk menjamin terlayaninya hak-hak pendidikan individu dengan memperhatikan kebutuhan khusus setiap peserta didik.

4. Prinsip Pendidikan Inklusif

Dalam upaya menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif di sekolah inklusif, Depdiknas (2007) telah merumuskan prinsip-prinsip pembelajaran di sekolah inklusif, yakni sebagai berikut:

  • Prinsip motivasi, guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada siswa agar tetap memiliki gairah dan semangat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan belajar-mengajar.
  • Prinsip latar atau konteks, guru perlu mengenal siswa secara mendalam, menggunakan contoh, memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan sekitar, dan semaksimal mungkin menghindari pengulangan-pengulangan materi pengajaran yang sebenarnya tidak terlalu perlu bagi anak. 8
  • Prinsip hubungan sosial, dalam kegiatan belajar-mengajar, guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran
  • d. mengoptimalkan interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, guru dengan siswa dan lingkungan, serta interaksi banyak arah.
  • Prinsip individualisasi, guru perlu mengenal kemampuan awal dan karakteristik setiap anak secara mendalam, baik dari segi kemampuan maupun ketidakmampuannya dalam menyerap materi pelajaran, kecepatan maupun kelambatannya dalam belajar, dan perilakunya, sehingga setiap kegiatan pembelajaran masing-masing anak mendapat perhatian dan perlakuan yang sesuai.

Konsep yang paling mendasar dalam pendidikan inklusif adalah bagaimana agar anak dapat belajar bersama, belajar untuk dapat hidup bersama dijabarkan dalam tiga prinsip, yaitu:

  1. Setiap anak, termasuk dalam komunitas kelas atau kelompok.
  2. Hari sekolah diatur sepenuhnya melalui tugas-tugas pembelajaran kooperatif dengan perbedaan pendidikan dan kefleksibelan dalam memilih dengan sepuas hati.
  3. Guru bekerja sama dan mendapat pengetahuan pendidikan umum, khusus dan teknik belajar individu serta keperluan-keperluan pelatihan dan bagaimana mengapresiasikan keanekaragaman dan perbedaan individu dalam pengorganisasian kelas.

Sekolah seyogyanya mengakomodasikan semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, emosi, linguistik, ataupun kondisi-kondisi lainnya. Ini seyogyanya mencakup juga anak berbakat, anak jalanan dan anak pekerja, anak dari penduduk terpencil ataupun pengembara, anak dari kelompok linguistik, etnik ataupun kebudayaan minoritas, serta anak dari daerah atau kelompok lain yang tak beruntung (UNESCO, dalam Hermansyah, 2013).

Lynch, sebagaimana disebutkan oleh Budiyanto dalam Hermansyah (2013) mengajukan tujuh prinsip menuju terwujudnya UPE (Universal Primary Education). Ketujuh prinsip tersebut adalah sebagai berikut:

a. Prinsip kesatu: Perkembangan Kebijakan, Kerangka Hukum dan Sistem Kelembagaan. Dengan adanya perkembangan kearah UPE, Sekolah Dasar harus merespon keragaman peserta didik secara luas, baik itu dalam hal latar belakang 9 sosial ekonomi dan budaya, pola tingkah laku, maupun kemampuan dan potensi yang berbeda-beda. Untuk itu perlu dilakukan perubahan dalam aturan perundang-undangan, organisasi dan pelaksanaannya serta perubahan filosofi kearah yang inklusif yang memandang bahwa semua anak mempunyai hak yang sama untuk pendidikan dasar, dan setiap anak memiliki kemampuan dan kebutuhan yang berbeda.

b. Prinsip kedua: Komitmen pada Filsafat Pendidikan yang Berpusat Pada Anak (Child- Centered). Prinsip kedua: pada dasarnya mengungkapkan tentang inovasi pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Prinsip ini menghendaki adanya perubahan pendekatan dalam pendidikan dari pola tradisional menjadi pola pendekatan pendidikan yang berpusat pada anak (child centered patern). Asumsinya bahwa setiap anak memiliki kapasitas dan kebutuhan yang berbeda antara individu yang satu dengan individu yang lainnya, sehingga pola pendidikan tradisional (yang menggunakan pendekatan klasikal, berpusat pada guru, berdasarkan pada materi hapalan, dan tidak mempertimbangkan gaya belajar dan latar belakang peserta didik) dianggap tidak relevan dengan kondisi anak berkebuthan khusus.

c. Prinsip ketiga: Penekanan pada Keberhasilan dan Peningkatan Kualitas. Agar pendidikan dasar lebih efektif dalam melayani peserta didik yang beragam, sekolah harus responsif terhadap kebutuhan para peserta didik serta kebutuhan guru dalam strategi mengajar, juga kemampuan untuk meningkatkan kurikulum sehingga dapat menyampaikan program pendidikan yang sesuai untuk semua anak. Lebih penting dari hal tersebut di atas adalah perlunya perubahan filosofis dari yang berorientasi tradisional menuju pelaksanaan pendidikan berorientasi pada keberhasilan, fleksibilitas, dan akomodatif terhadap keragaman, yaitu paradigma yang menerima konsep dapat dididik (universal educability), dimana semua anak dapat belajar. Hal ini mengimplikasikan dua hal, pertama, mengatasi adanya fragmentasi anak dengan kebutuhannya, kedua, mengatasi gejala kegagalan di sekolah dengan etos keberhasilan.

d. Prinsip keempat: Memperkuat Hubungan Antara Sistem Reguler dan Sistem Khusus. Kepercayaan akan perlunya mengkaitkan antara sekolah reguler dengan sekolah khusus secara lebih erat lagi merupakan implikasi dari istilah The Reguler 10 Education Initiative (REI). REI mengajak sistem pendidikan reguler untuk bertanggung jawab penuh terhadap keberhasilan semua peserta didik dan juga memberikan saran bahwa pendidikan khusus hendaknya bertindak sebagai sumber daya bagi pendidikan reguler. REI mengimplikasikan adanya penerimaan terhadap universal educability dan penyebarluasan etos keberhasilan untuk menggantikan sindrom kegagalan yang ada pada sebagian besar sekolah dasar.

e. Prinsip kelima: Komitmen untuk Berbagi Tanggung Jawab dalam Masyarakat. Di bawah paradigma baru untuk pendidikan dasar, sekolah dipandang sebagai bagian integral dari lingkungan masyarakat. Guru, kepala sekolah, orang tua dan masyarakat semuanya terlibat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, sehingga tanggung jawab atas kemajuan anak menjadi tanggung jawab bersama. Kerjasama dan pengkoordinasian antara fasilitas pendidikan khusus, guru, dan sekolah reguler haruslah menjadi kegiatan yang bisa dilakukan sebab tidak ada satu sistem yang dapat memenuhi semua kebutuhan anak.

f. Prinsip keenam: Pengakuan oleh para profesional tentang keragaman yang lebih besar. Pembekalan kepada calon guru dengan memberikan bermacam-macam cara pembelajaran, bentuk-bentuk pendekatan yang fleksibel dan kooperatif sebenarnya menunjukkan adanya kesadaran para profesional akan adanya keberagaman cara belajar yang dimiliki oleh peserta didik. Di India, guru diberikan dorongan untuk menggunakan pendekatan yang lebih fleksibel dan membantu guru tersebut agar mampu bekerja secara kooperatif dengan guru lainnya. Di India juga telah digunakan konsep multy category resourch teacher, dimana seorang guru sebagai narasumber diberi tugas untuk membantu guru lain dalam berbagai kasus pada anak-anak berkebutuhan khusus.

g. Prinsip ketujuh: Komitmen terhadap pendekatan yang holistik Prinsip holistik dan pendekatan perkembangan pada pendidikan berhubungan dengan konsep community shared responsibility. Tanggung jawab bersama merujuk pada hubungan sekolah dengan konteks masyarakatnya dan mengasumsikan bahwa masyarakat dan organisasi perlu bekerjasama untuk mendidik anak. Pendekatan holistik dan perkembangan didasarkan pada asumsi bahwa:

  1. Ada banyak domain dalam kehidupan anak yang berpengaruh pada performa pendidikan di sekolah. 11
  2. Ada banyak aspek dari perkembangan danak yang akan menentukan sejauh mana anak akan dapat mengambil manfaat dari pendidikan.
  3. Pengaruh hambatan dan kondisi hidup yang lain dapat bersifat komulatif dan perlu diberikan intervensi sedini mungkin.
  4. Guru dan profesional yang lain sama-sama bertanggung jawab untuk pemeriksaan anak dalam melihat adanya masalah nutrisi yang ada, untuk membuat referensi dan pengambilan tindakan yang tepat.
  5. Guru bertanggung jawab terhadap semua anak dan perkembangannya, bukan hanya kognitifnya saja.

Dalam sistem sekolah yang mengaplikasikan prinsip-prinsip perkembangan yang holistik, layanan pendidikan memperhatikan sejumlah faktor yang berpengaruh terhadap pencapaian pendidikan, termasuk kesehatan dan keadaan fisik, keadaan nutrisi, tuntutan kerja dan lain-lainnya.

Sumber: SIMPKB/GPO