Pengertian dan Contoh Metode Dramatik dalam Teks Cerpen | Bahasa Indonesia Kelas 9

Metode Dramatik | Pada kesempatan kali ini admin akan membagikan pengertian dan contoh metode dramatik dalam teks cerpen. Semoga apa yang admin bagikan ini dapat membantu anak didik dalam mencari referensi tentang pengertian dan contoh metode dramatik dalam teks cerpen. Dan harapannya apa yang admin bagikan ini dapat memberikan dampak positif yang baik bagi perkembangan dan kemajuan belajar anak didik dalam memahami pengertian dan contoh metode dramatik dalam teks cerpen.

Pengertian dan Contoh Metode Dramatik dalam Teks Cerpen | Bahasa Indonesia Kelas 9

Pengertian Metode Dramatik

Metode dramatik adalah metode di mana pengarang menampilkan tokoh secara tidak langsung atau tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan serta tingkah laku tokoh. Untuk mengetahui sifat tokoh, pembaca harus menafsirkan sendiri setiap bentuk ucapan, pikiran, perbuatan, bentuk fisik, lingkungan, reaksi, ucapan, dan pendapat karakter tersebut.

Penampilan tokoh cerita dengan menampilkan atau menggunakan metode dramatik dilakukan secara tidak langsung. Sang pengarang membuat setiap tokoh memperlihatkan karakter-karakternya melalui tingkah laku, peristiwa yang terjadi, dan lain sebagainya. Hal-hal seperti kejadian-kejadian yang terjadi di sebuah karya fiksi tidak hanya untuk memperkembangkan plot, tetapi menceritakan pendirian masing-masing tokoh.

Teknik penokohan ini lebih efektif daripada teknik penokohan analitik, karena berfungsi ganda, kaitan yang erat antara berbagai unsur fiksi ini lebih realistik, sangatlah mungkin tokoh baru, teman baru, pekerjaan, dan lain sebagainya. Namun, kekurangannya seringnya muncul penafsiran ganda akan watak para tokoh.

Contoh Cerpen
Sebatang Kara

Tanah di pekuburan umum itu masih besah ketika para pentakziah sudah pulang. Sementara Ogal masih duduk sambil sesekali menyeka air matanya. Ibu yang selama ini paling dia hormati dan cintai, tadi malam telah meninggal dunia, menghadap Tuhan Yang Maha Esa.
Burung-burung camar terbang rendah dan sesekali mencelupkan paruhnya di air laut. Bu Tuti dan suaminya  masih berdiri dibelakang sambil menunggu Ogal. Kedua orang tua asuh itu sangat setia kepada Ogal.
"Rasanya saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi, Bu," tiba-tiba Ogal berkata dengan suara agak berat.
Bu Tuti memegang lengan Ogal sambil mengelus rambutnya.
"Jangan berkata begitu, anakku. Kami akan menjadi orang tuamu sampai kapan pun."
"Sampai saya mandiri?" desak Ogal.
"Sampai kapan pun. Aku tidak akan membatasi kamu, sebab pada hakikatnya engkau adalah anakku juga."
"Maksud Ibu?" Ogal tidak mengerti.
"Ya, rupanya engkau ditakdirkan untuk aku asuh dan menjadi anak kami. Tetapi kami bertekad untuk menjadi orang tuamu, bukan sekadar orang tua asuh."
Ogal memeluk Bu Tuti. Air mata di pipinya tak henti-hentinya mengalir sehingga membasahi bajunya. Sementara suami Bu Tuti turut berduka atas kematian Bu Arpati.
Sebenarnya Ogal masih ragu-ragu , apakah dia akan ikut Bu Tuti atau bertahan hidup dengan mandiri. Jika dia ikut Bu Tuti tentu tidak dapat bekerja seperti ketika ia masih hidup bersama ibunya. Hal itu menjadikannya manja. Tetapi jika menolak kebaikan Bu Tuti, terasa tidak enak. Pengorbanan Ibu Guru itu sudah sedemikian besarnya.
Dari pengalaman hidupnya selama ini, banyak hal yang dapat Ogal petik. Ia biasa bekerja keras, tidak suka menggantungkan pada orang lain. Ia juga biasa hidup prihatin sehingga tidak suka berfoya-foya.
"Bolehkah saya menjajakan kue lagi, Bu?" pinta Ogal kepada Bu Tuti
"Buat apa, Ogal?"
"Agar saya tetap bisa bekerja."
"Kurasa tidak perlu, Ogal. Pusatkan perhatianmu untuk belajar. Sebentar lagi engkau akan ujian."
"Tapi, saya tidak enak kalau menganggur, Bu!"
"Di rumahku engkau tidak mungkin menganggur. Engkau bisa belajar menggunakan komputer, mengetik, nonton TV, dan memelihara kebun."
"Tapi, saya akan tidak bekerja, Bu!"
"Pada hakikatnya engkau bekerja juga.
Memelihara kebun atau membantuku di rumah juga bekerja."
"Jadi, tidak harus menjajakan kue, Bu?"
Bu Tuti mengangguk
"Kalau begitu, tolong carikan pekerjaan yang bisa saya lakukan."
Bu Tuti tersenyum
"Jangan khawatir."
Bu Tuti ternyata dapat memenuhi harapan Ogal. Banyak pekerjaan yang dapat dilakukan Ogal. Misalnya, memelihara kebun mangga, mencatat keluar masuknya barang, dan sebagainya.
Kali ini Ogal tidak kalah sibuknya dengan sewaktu berada di desa nelayan. Bahkan, mungkin boleh dikatakan sangat sibuk. Pekerjaan di rumah Bu Tuti tidak hanya satu, melainkan sangat banyak. Walaupun begitu, Bu Tuti tidak pernah memaksa Ogal untuk bekerja. Semua itu hanya semata-mata menuruti keinginan Ogal.

Cerpen 2
Musibah
Kemakmuran di desa nelayan itu tidak selamanya abadi. Ada saatnya naik dan ada saatnya pula turun bak gelombang pasang yang datang.
Sudah dua bulan terakhir angin kencang selalu melanda desa itu. Jika sudah demikian, tidak seorang nelayan pun berani mencari ikan menggunakan perahu, bahkan dengan perahu motor pun tidak berani.
Pak Bakri, yang dikenal sebagai nelayan terkaya di desa itu juga menderita akibat datangnya angin kencang selama dua bulan berturut-turut. Sebagai juragan nelayan, ia merasa kehilangan pendapatan. Apalagi setelah datangnya penyakit yang misterius menyerang sebagian besar penduduk. Bu Bakri sudah dua minggu tidak bisa turun dari tempat tidurnya. Tubuh terasa kaku, seakan-akan mati.
Pak Bakri telah menjual dua perahu motornya. Jika tidak, mana mungkin ia bisa membayar utangnya pada bank. Padahal sudah waktunya ia harus membayar cicilan utangnya. Belum  lagi biaya pengobatan ke dokter dan dukun akibat penyakit yang diderita Bu Bakri.
Pada saat itu Pak Bakri mulai merasakan betapa besarnya kesalahan yang telah diperbuatnya kepada penduduk. Ia yang ia yang selama ini suka mencela dan melecehkan penduduk yang miskin, merasa berdosa. Manol yang selama ini dimanjakan, terasa tidak lagi dipedulikan. Kesusahan keluarga itu terasa sangat menyiksanya.
Penduduk di desa nelayan itu benar-benar berada dalam keadaan tidak berdaya. Kebiasaan mereka membeli barang elektronika saat musim panen ikan, kini barang itu dijualnya. Radio, televisi, video, dan sebagainya, dijual agar mereka dapat mempertahankan hidupnya. Bukan cuma itu, lemari, kursi, dan perhiasan yang dipakainya juga dijual.
Orang-orang yang berada di sekitar desa nelayan itu juga turut merasakan penderitaan. Mereka yang membuka warung, toko, atau apa saja tidak laku. Pembelinya tidak ada. Utang-utang para nelayan itu menunggak sampai batas waktu yang belum diketahui.
...
Tiba-tiba angin bertiup perlahan-lahan. Deburan ombak pun mulai berkurang. Sementara wajah-wajah nelayan menatap ke langit dan penuh harap. Mereka mulai merasakan betapa musibah ini merupakan ujian yang terberat yang pernah mereka alami. Betapa tidak, selama puluhan tahun belum pernah mereka mengalami musibah seperti tiga hari. Itu pun rasanya sangat meresahkan. Selama ini mereka harus beristirahat total selama dua bulan.

Cerpen 3
Kenangan Tentang Bunda

Brek! Via menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Air matanya meleleh membasahi bantal. Hati via betul-betul terluka mendengar omongan Bi Jum.
"Lo, kenapa menangis?" tanya Eyang Putri cemas. Belau meletakkan obat dan segelas air putih di meja. Via diam tidak menjawab. Isaknya semakin jelas terdengar.
"Eyang, benarkah Bunda tidak mau mengurus, Via?" tanyanya terpatah-patah.
"Siapa bilang?" kata Eyang.
"Tadi di Puskesmas Bi Jum bercerita pada orang-orang. Katanya Bunda tidak mau mengurus Via. Bunda sibuk berkarier. Itulah sebabnya Via diasuh Eyang."
Eyang mengangguk-angguk mulai memahami persoalan  Via. Namun, beliau belum menanggapi pertanyaan cucunya.
"Minum obat dulu, ya. Nanti kita bicarakan hal ini," bujuk Eyang seraya membantu Via minum obat. Sesekali terdengar helaan nafas panjangnya.
Pagi tadi Eyang menyuruh Bi Jum, pembantunya mengantar Via berobat ke Puskesmas. Sudah dua hari Via pilek. Biasanya Eyang sendiri yang mengantar Via berobat. Namun tetangga sebelah meninggal. Eyang melayat ke tetangga sebelah.
"Benarkah Bunda tidak mau mengasuh Via, Eyang?" desak Via penasaran.
Eyang menatap lembut cucunya yang sedang sedih dan gelisah. Dengan penuh kasih sayang tangannya yang keriput membelai Via.
"Apakah Via merasa begitu?"
Via termenung. Ya, seperti ucapan Bi Jum ada benarnya juga. Bude Laras dan Bulik Prita, saudara Bunda mengasuh sendiri anak-anaknya. Meskipun mereka berdua juga bekerja di kantor. Sementara Via diasuhb Eyang.
"Bingung, ya? Via, umumnya seorang anak memang tinggal bersama orang tuanya. Namun karena alasan tertentu, ada juga anak yang tinggal dengan orang lain."
"Dan alasan itu karena mereka tidak mau repot mengasuh anaknya, kan?" potong Via sengit.
"Mmm, sebaiknya Via cari tahu sendiri ya, jawabannya. Nanti Eyang beritahu caranya.
Via menatap Eyang tak berkedip. Dengan seyum tak tersunggingdi bibir, Eyang beranjak mengambil kertas dan bolpoin.
"Dulu, kalau Eyang kecewa terhadap seseorang, Eyang menulis semua hal tentang orang tersebut. Semua kenangan yang manis ataun pun yang tidak menyenangkan. Biasanya begitu selesai menulis, hati Eyang lega. Pikiran pun menjadi jernih. Sehingga Eyang bisa menilai orang itu dengan tepat. Via mau mencoba cara ini? Tulisan kenangan tentang Bunda. Mudah-mudahan Via akan menemukan jawaban. Eyang ke dapur dulu, ya."
Begitu Eyang berlalu, Via meremas  kertas. Untuk apa menulis kenangan tentang Bunda? Bikin tambah kesal saja. Plung! Via melempar kertas ke tempat basah.
Langit begitu biru. Via menatap gumpalan awan putih yang berarak. Dulu Bunda bercerita awan itu berlari karena takut digelitik angin. Kenangan Via kembali ke masa kecil. Bunda selalu mendongeng menjelang tidur. Bunda selalu memandikan dan menyuapinya. Tugas itu tidak pernah digantikan pembantu, meskipun Bunda juga bekerja di kantor.
Tiba-tiba jam kerja Bunda bertambah , karena hari Sabtu libur. Bunda tiba di rumah paling awal pukul 17.20. Kini Via lebih banyak bersama pembantu. Suatu ketika Bunda pulang lebih awal karena tidak enak badan. Saat itu waktu buat Via tidur siang. Namun pembantu mengajaknya main ke rumah tetangga. Bunda marah dan pembantu ketakutan maka pembantu itu memilih untuk keluar.
Sambil menunggu pembantu baru, Via ikut Bunda ke kantor sepulang sekolah. Mula-mula semua berjalan lancar. Lalu Via mulai sakit-sakitan. Akhirnya ia harus opname. Dokter menduga Via kurang istirahat dan makan kurang teratur. Bunda menangis mendengarnya. Ia merasa bersalah.
Eyang datang menawarkan diri mengasuh Via di Salatiga. Via senang sekali. Ia tidak akan kesepian karena banyak sepupunya yang tinggal tidak jauh dari rumah Eyang. Sebetulnya Bunda keberatan. Namun demi kebaikan Via, Bunda pun rela.
Setiap awal bulan Ayah dan Bunda bergantian ke Salatiga. Biasanya mereka tiba Minggu pagi. Sore harinya mereka sudah kembali ke Bandung, karena besok paginya harus ke kantor. Bunda pun selalu menyempatkan diri mengambil rapor Via atau menemani Via ikut piknik sekolah. Saat ulang tahun Via, Ayah dan Bunda cuti untuk merayakannya bersama.

Cerpen 4
Lagu di Atas Bis

Sebuah buu malam jarak jauh meluncur dalam kecepatan sedang-sedang saja. Para penumpang baru berhenti untuk makan pada pertengahan perjalanan di tempat persinggahan bus-bus malam. Pohon tumbuh menyungkup sepanjang jalan, seolah mereka dengan senter di tangan berlari di antara dua deretan pohon. Dari dalam rumah penduduk di antara gelap pohon, di kiri kanan jalan muncul sekali-kali kerlip cahaya dari rumah penduduk. Selebihnya adalah sorot lampu bus yang menerangi kegelapan aspal yang terentang tak pernah habis. Lampu bus itu tidak ubahnya sepotong kapur tulis mencoreng di atas papan hitam di depan kelas.
Orang-orang di dalam bus itu tidak tertidur. Mereka merasa segar, karena mereka baru saja selesai makan makan malam di tengah perjalanan mereka. Sopir menghidupkan tape recorder. Para penumpang mendengarkan lagu yang berkumandang sambil berlena-lena. Tetapi di tengah-tengah lagu itu, terdengar orang berteriak.
"Bolehkah lagu itu ditukar? Saya ingin mendengarkan lagu jazz," kata penumpang yang lain.
"Tetapi saya tidak punya kaset jazz!" kata sopir.
"Aku membawa kaset lagu yang aku minta!" orang yang meminta lagu jazz mengeluarkan kaset jazz dari dalam sakunya dan berkumandanglah lagu jazz.
Tetapi, baru beberapa detik saja lagu itu berkumandang, terdengar pula orang berteriak.
"Bolehkah lagu itu ditukar?" kata penumpang yang berteriak itu kepada orang yang meminta lagu jazz.
"Boleh!" kata orang yang meminta lagu jazz itu.
"Saya ingin lagu disko," kata orang yang meminta lagu disko itu supaya diganti.
Tolong Pak Sopir,' kata orang yang meminta lagu disco tadi. "Bapak ini tidak suka dengan lagu kesenangan saya. Dia minta ditukar dengan irama disko."
"Tetapi saya tidak punya kaset disko!" kata sopir.
"Saya punya. Saya membawa kaset kesenangan saya!" kata orang itu. 
Dia pun mengeluarkan kaset dari dalam sakunya. Kemudian mengumandangkan pula lagu disko.
Para penumpang mendengarkan lagu itu hanya beberapa detik saja, sebab terdengar pula orang berteriak dari bangku yang lain.
"Bolehkah lagu itu di tukar?"
"Boleh!" kata orang yang meminta lagu disko.
"Saya ingin lagu keroncong." Kata orang yang berteriak tadi.
"Tolong Pak Sopir, Bapak ini tidak suka dengan lagu disko kesenangan saya. Dia minta lagu keroncong." kata orang yang berteriak disko.
"Tetapi saya tidak punya kaset keroncong!" kata sopir.
"Saya punya. Saya membawa kaset kesenangan saya!" orang itu mengambil kaset dari dalam saku bajunya. Kemudian mengumandangkan lagu irama kerocong.
Para penumpang mendengarkan lagu itu hanya beberapa saat saja. 
Seseorang berteriak pula dari bangku yang lain.
"Bolehkah lagu itu ditukar?"
"Boleh!" kata orang yang meminta lagu keroncong.
"Saya ingin lagu dangdut.'
"Tetapi saya tidak punya kaset dangdut!" kata sopir.
"Saya punya. Saya membawa kaset kesenangan saya!" Orang itu mengambil kaset dari dalam saku bajunya. Kemudian mengumandang lagu dangdut.
Para penumpang mendengar lagu itu. Tetapi beberapa saat kemudian, terdengar pula seseorang berteriak.
"Bolehkah lagu itu ditukar?"
"Boleh!" kata orang yang meminta lagu dangdut.
"Saya ingin lagu pop Indonesia."
"Tolong Pak Sopir, Bapak ini tidak suka dengan lagu dangdut kesenangan saya. Dia minta ditukar dengan lagu pop Indonesia."
"Tetapi saya tidak punya kaset pop Indonesia!" kata sopir.
"Saya punya. Saya selalu membawa kaset lagu kesukaan saya!"
Orang itu mengambil kaset dari dalam saku bajunya. Kemudian mengumandang lagu pop Indonesia. Tetapi baru saja lagu itu mengumandang, terdengar pula seseorang berteriak.
"Bolehkah lagu itu ditukar?"
"Boleh!" kata orang meminta lagu pop Indonesia.
"Saya ingin lagu gending Jawa."
"Tolong Pak Sopir, bapak ini tidak suka lagu pop Indonesia, padahal lagu itu kesukaan saya. Dia minta ditukar dengan gending Jawa."
"Tetapi saya tidak punya kaset gending Jawa!" kata sopir.
"Saya punya. Saya tidak pernah meninggalkan kaset gending Jawa, setiap saya bepergian kaset ini selalu saya bawa. Ini kaset lagu kesukaan saya, gending Jawa!"
Demikianlah seterusnya, para penumpang itu meminta setiap lagu yang diputar diganti. Tiba-tiba ada orang berteriak.
"Bolekah lagu itu ditukar?" kata orang yang berseragam hijau. Dia membawa pistol dua.
Orang yang meminta lagu-lagu mars perjuangan melihat kepadanya. Tetapi pada akhirnya dia berkata:
"Boleh! Mengapa tidak? Boleh! Lagu itu boleh ditukar."
"Saya ingin diputar lagu Indonesia Raya!" katanya.
"Tolong Pak Sopir. Bapak ini tidak suka lagu mars perjuangan.
Padahal lagu itu menimbulkan semangat perjuangan pada saya. Bapak ini minta diputar lagu Indonesia raya.
"Tetapi saya tidak punya kaset Indonesia Raya."
"Kaset lagu apa saja yang kamu punya?" kata orang yang berseragam hijau lengkap dengan dua pistol di pinggangnya.
Sopir membongkar seluruh kaset di dalam laci.
"Kau harus punya kaset Indonesia Raya. Cari! dan mesti kau dapatkan!"
Sopir terus membongkar semua kaset. Dan dia menemukan kaset lagu Indonesia Raya di antara kaset yang ia bawa.
"Saya punya kaset Indonesia Raya!" teriak sopir gembira.
"Putar! Saya suka lagu Indonesia Raya!" kata orang yang berseragam hijau lengkap dengan dua pistol di pinggang "Tetapi teliga saya sakit mendengarnya!" kata orang yang berseragam hijau dengan tiga pistol di pinggangnya.
"Apa katamu? Sakit telingamu, katamu? Berarti kau tidak cinta tanah air!"
"Tetapi, tidak saatnya lagu kebangsaan itu diputar sekarang!"
"Sekarang adalah saatnya! Tidak kau lihat mereka sudah berkelahi. Masing-masing meminta lagu daerah mereka sendiri-sendiri."
"Tetapi telinga saya sakit mendengar lagu Indonesia Raya itu."
"Berarti kau penghianat! Kau boleh keluar dari bis ini!"
"Tetapi ...," kata orang berseragam hijau dengan tiga pistol di pinggangnya.
"Tetapi, kau sudah membayar ongkos? Itu maksudmu? Kata orang yang berseragam hijau dengan dua pistol di pinggangnya.
"Ya! Saya sudah membayar ongkos!"
"Saya akan ganti uang sisa ongkos perjalananmu. Kau boleh turun. Dan naik bis yang lain. Lagu Indonesia Raya ini harus mengumandang sampai tujuan kita berakhir. Kalau tidak suka, kau boleh keluar! Tidak ada tempat untuk orang yang tidak suka pada lagu kebangsaannya sendiri. Siapa yang tidak suka dengan lagu ini?"
"Saya suka!" kata orang yang berseragam hijau dengan sebuah pistol dipinggangnya. Mereka berdua menjadi memiliki tiga pistol.
Orang yang memakai seragam hijau lengkap dengan dua pistol di pinggangnya berdiri di atas tempat duduknya. Dia diikuti orang berseragam dengan satu pucuk pistol di pinggangnya.
"Cepat katakan! Siapa yang tidak suka dengan lagu ini?" teriak orang yang berseragam dengan dua pistol di pinggangnya.
"Tidak ada tempat bagi penghianat di bis ini!"
Semua orang diam. Termasuk orang yang memakai seragam dengan tiga pistol di pinggangnya. Dan lagu Indonesia Raya itu berkumandang sepanjang perjalanan, sampai mereka tiba di terminal terakhir.