Rangkuman Bab 1 Agama Buddha Kelas X Materi : Keberagaman Agama Buddha dan Indonesiaku

searchpengertian.com - Pada kesempatan kali ini admin akan membagikan rangkuman materi agama Buddha kelas 10 materi pokok indahnya keberagaman Buddhaku (keberagaman agama Buddha dan Indonesiaku. Semoga apa yang admin bagikan kali ini dapat membantu peserta didik dalam mencari referensi materi tersebut.

Rangkuman Bab 1 Agama Buddha Kelas X Materi : Keberagaman Agama Buddha dan Indonesiaku

Gambar: freepik.com

Perkembangan agama Buddha di Indonesia dari masa ke masa tidak bisa terlepas dari perubahan-perubahan pola pikir, peradaban, dan perilaku hidup manusia. Hal ini dapat kita lihat dari keberagaman perkembangan aliran agama Buddha di Indonesia. Namun demikian, perkembangan agama Buddha di Indonesia diawali sebelum bangsa Indonesia terbentuk yang dalam hal ini pada masa kerajaan, hingga bisa bertahan sampai detik ini. Tentu, proses perkembangan agama Buddha di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran pelaku dan tokoh yang mengembangkan dan menyiarkan agama Buddha di Indonesia serta nilai-nilai agama Buddha yang mereka kembangkan.

Keberagaman agama Buddha yang berkembang di Indonesia saat ini merupakan salah satu kekuatan yang mampu memperkaya khazanah nilainilai Buddha. Nilai-nilai tersebut dipraktikkan, dipahami, dimengerti, dan dihayati oleh orang-orang yang ikut berperan dalam mengembangkan dan membumikan Buddha Dharma di Indonesia saat itu. Dimulai sejak zaman kerajaan-kerajaan, sebelum dan setelah kemerdekaan, ajaran-ajaran Buddha yang mereka ajarkan kepada masyarakat mampu diterima oleh bangsa kita. Hal ini disebabkan para pengemban Buddha Dharma berinovasi dengan cara menyesuaikan karakter dan budaya bangsa kita, termasuk kearifan lokal yang ada.

Ajaran Buddha pada dasarnya menginginkan kehidupan yang dinamis dan ideal, mengajarkan suatu disiplin menuju tujuan akhir hidup manusia, yaitu mencapai kebuddhaan atau pencerahan sejati. Keberagaman agama dipahami sebagai kondisi keimanan atau keyakinan terdalam seseorang terhadap ajaran agamanya yang kemudian diaktualisasikan dalam sikap dan perilaku hidupnya sehari-hari. Sikap keagamaan berarti suatu perbuatan yang berdasarkan pada pendirian, pendapat, atau keyakinan seseorang, mengenai ajaran agamanya.

Sikap keberagaman umat Buddha adalah Dharma, yang mengandung pengertian kesucian pikiran, kesucian ucapan, dan kesucian tindakan jasmani. Walaupun Dharma memiliki manifestasi yang bermacam-macam, tetapi pada hakikatnya, Dharma tersebut menunjukkan kepada yang umum, mendasar, lengkap, dan mengarah kepada tujuan yang satu. Tujuan itu ialah pencerahan sempurna, sebagaimana yang dijelaskan Buddha dalam kitab suci Tipitaka bagian Paṇḍitavaggo VI ayat 89 “Barang siapa mengembangkan batin dengan benar dalam faktor-faktor pencapaian penerangan, melepas kemelekatan, bersenang dalam pelepasan kelekatan, mereka merupakan khinasava, bersinar terang, mencapai kepadaman di dunia.” (Sańgha Theravada Indonesia, 2018: 37).

Dengan demikian, sikap keberagaman umat Buddha adalah suatu perwujudan dan keseluruhan totalitas manusia, baik sikap dan karakternya maupun tabiat dan tindakannya sesuai dengan ajaran-ajaran Buddha. Oleh karena Buddha merupakan suatu sistem yang menyeluruh, keberagaman dalam agama Buddha yang ada saat ini bukan hanya diwujudkan dalam bentuk ibadah ritual, tetapi juga dalam bentuk aktivitas lainnya. Buddha memandang hidup dalam Dharma (Dharmacariyaca) sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia dari aspek batin dan berlangsung secara bertahap. Kematangan yang bertitik akhir pada Nibbâna baru dapat dicapai melalui satu proses yang mengarahkan seseorang agar mampu berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Buddha.

Dalam konteks bahwa agama dan ajaran Buddha, kehadirannya benar-benar menjadi pedoman bagi kehidupan bermasyarakat umat Buddha. Dengan kata lain, peran pengetahuan keagamaan dan internalisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan setiap pribadi umat Buddha menjadi sebuah keniscayaan. Dalam hal ini adalah tidak bisa memisahkan antara pengetahuan keagamaan dan sikap keberagaman umat sebagai dua hal yang saling bertolak belakang. Oleh sebab itu, baik pengetahuan keagamaan maupun sikap keberagaman umat, sama-sama diperlukan oleh umat Buddha untuk bertumbuh ke arah kehidupan yang lebih manusiawi baik sebagai makhluk individual maupun makhluk sosial.

Kecenderungan sikap keberagaman umat tidak bisa dilepaskan dari pengaruh pengetahuan keagamaan, yaitu pengajaran Dharma. Dharma utamanya sebagai landasan spiritual, moral, dan etika dalam membangun dan meningkatkan kualitas kehidupan beragama. Ajaran Dharma adalah konstruksi nilai-nilai yang dari waktu ke waktu, dijadikan pedoman dalam mengatur perilaku kehidupan umat Buddha. Dharma juga sumber nilai. Umat Buddha seharusnya tidak mencari sumber kebaikan dan kebenaran di luar Dharma karena hanya Dharma lah kebenaran mutlak. Agar dapat hidup tenang dan bahagia, umat harus meyakini kebenaran sesuai dengan apa yang telah diajarkan Buddha dan senantiasa berpedoman pada Dharma. Namun, yang ideal ini terkadang belum tampak dalam realitas.

Hal ini dapat dijelaskan dengan memperhatikan keadaan bahwa praktik kriminalitas, asusila, dan perilaku permisif yang tidak lagi mengindahkan adab kesopanan dan kesantunan terus berkembang. Ini merupakan sebagian bukti rendahnya kualitas pengetahuan, pemahaman, dan pengamalan umat terhadap ajaran agamanya. Fenomena ini tentunya sangat memprihatinkan. Pada satu sisi, dalam kondisi demikian, pengajaran Dharma mendapat momentum untuk dapat dilaksanakan secara optimal, komprehensif, dan lebih menitikberatkan pada pengembangan pribadi, watak, dan akhlak mulia umat Buddha. Di sisi lain, rendahnya penerapan nilai-nilai agama Buddha yang dilakukan oleh umat merupakan indikasi kuatnya korelasi dengan pengetahuan keagamaan.

Jika ditelaah dengan saksama, tampak bahwa pengetahuan keagamaan umat tidak dapat lepas dari pengaruh Sańgha (bhikkhu dan bhikkhuni/bhiksu dan bhiksuni), pandita, Dharmaduta, dan para tokoh agama. Bukan bermaksud menyatakan bahwa umat tidak memiliki kemandirian dalam menentukan dirinya, melainkan adanya suatu petunjuk bahwa kepatuhan kepada pemimpin agama masih cukup tinggi. Loyalitas ini salah satunya disebabkan oleh otoritas transenden (hak keagamaan) yang melekat pada Sańgha dan tokoh agama itu sendiri.

Sumber: bukukemdikbud.go.id